Monday, April 21, 2008

Cerita Perjalanan 2

Ahad, 15 Maret 2008

Sejenak terlelap setelah menyantap seporsi mi rebus pakai telor, saya terjaga, ketika kereta berhenti di stasiun Cikampek. Sudah dinihari, kesibukan para pedagang yang hendak berangkat mencari rezeki sudah dimulai. Cukup lama kereta berhenti disana, sampai kemudian kereta kembali berjalan, dan ...olala, rupanya lokomotif kereta telah berganti arah. Jadilah kami seolah-olah mundur, karena posisi kursi tidak kami ubah. Karena enggan membangunkan suami yang tidur pulas, saya membiarkan posisi kursi kami. Dan Cikampek Bandung kami tempuh dengan berjalan mundur.
Hampir jam 4 pagi ketika kereta sampai di Stasiun Bandung. Kami memutuskan untuk menunggu waktu subuh di stasiun. Dingin kota Bandung mulai terasa. Sambil menunggu mushala dibuka, kami duduk di peron stasiun. Tepat ketika azan subuh berkumandang, mushalla dibuka. Setelah shalat subuh, kami berenam, menuju hotel menumpang mobil carteran.
Sampai di hotel, kami termasuk tamu kepagian, karena seharusnya peserta baru boleh check in setelah jam 12 siang. Syukurlah kami diperbolehkan chek in lebih dini. Jadi badan ini bisa sedikit rebahan setelah menempuh 7 jam perjalanan.
Saatnya makan pagi, teringat betul 4 tahun lalu kami makan pagi di tempat yang sama, beserta dua putri kecil kami. Jadi keingat anak-anak, baru juga semalam meninggalkan mereka.
Usai makan pagi, beberapa teman mengajak jalan ke Pasar Baru. O..o..tawaran yang menarik, tapi juga berbahaya. Bisa bikin lapar mata. Jadi saya memilih untuk jalan-jalan ke DT saja. Sudah beberapa kali saya berkeinginan ke sana, selalu saja ada aral yang melintang. Jadilah saya dan suami memulai perjalanan nostalgia. Yup, naik angkot keliling Bandung, mengingatkan kami saat-saat baru nikah dulu. Saat kami menikah, suami sedang mengikuti pendidikan di Bandung. Berhubung anak kost, kemana-mana kami naik angkot. Jadi sudah nggak asing lagi dengan terminal angkot kebon kelapa. Karena waktunya hanya setengah hari, ya, tidak banyak tempat yang bisa dikunjungi, Selain Kebon Kelapa yang sudah jadi ITC, saya hanya berkunjung ke Gerlong dan ke DT. Sempat pengin makan siang di warung padang langganan dulu. Sayang, keburu hujan deras, jadi kami makan siang di warung terdekat dengan tempat pemberhentian angkot. Menunya Roti bakar, Jus Alpokat dan Indomie rebus pake telor. Ini menu favorit suami di kost-an dulu, selain nasi padang langganannya.
Sampai di DT sudah lepas dhuhur, ada kajian putri yang diisi Teh Ninih. Kami di sana sampai ba'da ashar, langsung pulang ke hotel. Di hotel, registrasi peserta, shalat Maghrib dan Isya berjamaah, lalu acara di mulai dengan Welcome Speech dan makan malam. Selanjutnya....istirahat....




Setelah Kepergian Itu

Setelah Bapak pergi, permasalahan pertama yang mengemuka adalah, siapakah diantara kami berlima yang akan tinggal untuk mendampingi Ibu. Karena selama ini, setelah adik bungsu kami melanjutkan kuliah di kota Solo, praktis Ibu dan Bapak hanya tinggal berdua saja. Memang betul, di kota kelahiran kami, masih ada dua orang kakak yang tinggal di sana. Meskipun sekota, hanya kakak nomor tiga yang hampir setiap hari mampir, at least lebih dari sekali dalam sepekan. Karena kakak nomor tiga ini yang paling sering dimintai tolong Bapak dan Ibu untuk berbagai hal. Dari mulai belanja bulanan, antar jemput Ibu ke kantor kalau Bapak sedang berhalangan, atau pun membelikan sesuatu yang dibutuhkan Bapak dan Ibu. Kebetulan beliau memang sudah menasbihkan diri sebagai Ibu Rumah Tangga sejati sejak pertama kali mengikat janji suci dengan suaminya, dan beliau ini tipe perempuan cekatan, yang terampil menyelesaikan segala urusan domestik. Jadi tak masalah dalam sehari harus menyelesaikan urusan rumah tangga sendirian dengan 2 buah hati (tanpa asisten lho) sekaligus menyelesaikan urusan yang diamanahkan Ibu Bapak.
Sedangkan kakak kedua, karena kesibukan beliau bekerja sebagai guru, disampaing aktifitas sosial kemasyarakatannya, juga kegiatan mengurus 3 buah hati, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk mendampingi Bapak Ibu. Bapak Ibu juga sangat faham pada karakter putri keduanya ini yang lebih cekatan di luar rumah, dibandingkan di dalam rumah. Untuk urusan domestik, beliau memang tidak terlalu istimewa.
Masalahnya, kakak nomor dua ini bersuamikan seorang anak tunggal yang juga punya amanah untuk mendampingi Ibunya yang tinggal sendirian. Jadi dia harus memilih, apakah akan tinggal bersama Ibu Mertuanya, atau tinggal bersama Ibu.
Sedangkan jika kakak nomor tiga yang tinggal bersama Ibu, masalah ada di Ibu, yang merasa tidak cukup klop tinggal bersama anak-mantu-cucu yang ini.
Hingga akhirnya, karena kebesaran hati mertua beliau, kakak nomor dua ini pun boyongan ke rumah Ibu. Masalah selesai. Kami kira. Ternyata tidak. Belum juga 3 bulan Bapak pergi, mertua beliau mulai merasa kehilangan. Beliau yang tidak pernah tinggal sendirian, mulai merasa kesepian, dan mengharapkan anak semata wayang beserta istri dan anaknya, bersedia tinggal bersamanya lagi. Akhirnya, kakak pun seperti makan buah simalakama. Dan, rumah tangganya pun terasa tidak nyaman saya rasa. Ya, saya bisa memahami kondisi tersebut. Sehingga alternatif lain adalah, saya atau kakak nomor satu pindah kota ke rumah Ibu. Alternatif ini adalah yang termahal saya pikir. Kenapa ? Karena mengupayakan pindah kerja bagi PNS seperti Ipar sulung saya, atau pegawai BUMN seperti saya dan suami, tentunya tidak mudah. Selain itu kami juga harus memindahkan sekolah anak-anak, yang butuh biaya tidka sedikit. Lalu biaya boyongan, dan renovasi rumah Ibu supaya cukup ditempati keluarga saya atau kakak, yang jumlahnya kayak rombongan sirkus. Bahkan jika kakak saya yang bersedia pindah, berarti dia harus juga merelakan diri untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sekarang, yang tentunya berarti kehilangan separuh roda nafkah keluarganya. Meskipun kami yakin bahwa rezeki datangnya dari Allah, kami toh tetap harus berhitung, berapa besar dana yang dibutuhkan, juga berhitung, dari mana dana tersebut bisa didapat.
Ya Allah....kami mohon kepada-Mu, tunjukkanlah kami jalan keluar untuk permasalahan ini. Amin.




Wednesday, April 16, 2008

Cerita Perjalanan 1

Sabtu, 14 Maret 2008
Pagi, Ibu, kakak dan keponakan, Bapak & Ibu mertua, sudah datang ke rumah. Mereka yang rencananya akan menyertai keberangkatan kami ke Bandung, tempat manasik berlangsung sebelum kami berangkat ke tanah suci. Persiapan-persiapan dan packing sudah selesai. Tak urung, masih ada saja hal-hal kecil yang terlewatkan. Alhamdulillah, sebelum ashar, semua sudah selesai, tinggal menunggu saat-saat keberangkatan. Rencananya, kami berangkat menuju Bandung menggunakan KA.Harina jam 21.00. Suami masih di kantor menyelesaikan beberapa kewajiban yang mesti dituntaskan.
Sampai menjelang maghrib, suami belum juga pulang. Saya mulai gelisah. Ini awal perjalanan jauh, dan beliau belum bersiap, meskipun untuk perbekalannya, semua sudah saya urus. Rupanya kepatuhan saya pada suami hendak diuji. Beruntung Ibu dan kakak berkali-kali mengingatkan saya untuk bersabar, menahan amarah dan tidak mengeluh. Belum lagi perdebatan kami, tentang bagaimana kami akan menuju stasiun, siapa yang akan membawa pulang mobil dan bagaimana keluarga akan pulang, mengingat tidak satupun keluarga yang mengantar bisa menyetir, sedangkan suami sampai di rumah dengan jeda waktu keberangkatan yang sudah cukup mendebarkan. Saya yang biasanya keras dengan pendapat saya, apalagi jika merasa bahwa pendapat saya lebih logis, kali ini mulai berusaha keras untuk mematuhi apapun keputusan suami, sekalipun bertentangan dengan pendapat pribadi. Bukan hal mudah, mengingat selama ini saya termasuk lebih sering berpihak pada pendapat pribadi. Namun mengingat perjalanan ini adalah perjalanan ibadah, dimana saya tidak ingin ada perilaku berbantah-bantahan, sayapun lebih banyak diam dan menurut, sambil terus berdoa dalam hati, agar semoga kepatuhan kepada suami sebagai bagian dari ibadah saya pada Allah SWT mendapatkan Ridho-Nya, dan Dia memberikan kemudahan dalam perjalanan kami.
Alhamdulillah, kami sampai di stasiun sekitar 30 menit sebelum kereta berangkat. Suami menitipkan mobil ke kantor yang berjarak sekitar 3 km dari stasiun, dan rencananya akan ke stasiun menggunakan becak. Sedangkan keluarga akan pulang ke rumah menggunakan taksi yang cukup banyak mangkal di depan stasiun. Sungguh, saya tak membayangkan akankah waktu 30 menit cukup untuk membawa suami sampai di stasiun sebelum kereta berangkat. Apalagi jalan dari stasiun ke kantor memutar, karena jalan yang searah. Saya sudah hampir menangis ketika sudah lebih dari 15 menit, suami belum juga tampak. Emosi saya pun sudah mulai naik. Ibu dan kakak berulangkali mengingatkan untuk bersabar, dan pasrah pada Allah. Kalaupun ketinggalan kereta, Insya Allah akan ada jalan untuk tetap sampai di Bandung keesokan harinya. Berulangkali pula Ibu dan kakak mengingatkan untuk tetap patuh pada suami selama perjalanan sampai ke tanah suci. Emosi saya mulai mereda, dan sesaat kemudian suami pun tampak di pintu masuk. Rupanya, Allah memudahkan perjalanannya, karena ketika hendak menuju stasiun , beliau bertemu dengan seorang teman yang dengan baik hati berkenan mengantar ke stasiun menggunakan sepeda motor, yang tentunya jauh lebih cepat dibandingkan rencana semula menggunakan becak. Alhamdulillah, Ya Allah, belum juga berangkat ke tanah suci, telah Kau tunjukkan kepadaku, betapa ketika kita patuh pada aturan-Nya, maka Dia akan memudahkan urusan kita. Inilah pelajaran berharga buat saya, yang terus saya pegang.
Sepuluh menit sebelum kereta berangkat, saya dan suami berpamitan. Ada keharuan yang sangat mendalam ketika saya berpamitan pada ibunda. Teringat pada Cita-cita ayahanda untuk ke tanah suci yang belum terlaksanakan sampai akhir hayatnya. Teringat bahwa beliaulah yang sangat bersemangat mendukung ketika proses seleksi berlangsung. Bahkan beliau yang berjanji akan menemani anak-anak ketika kami ke tanah suci, karena seharusnya, mulai 1 Maret lalu, beliau memasuki masa purna tugas.
Tepat pukul 21.00, kereta berangkat. Dari jendela, kami lambaikan tangan kepada keluarga yang mengantar. Ada kesedihan karena harus berpisah, bahkan terbayang, andai saja Bapak hadir di sana, melambaikan tangan kepada kami. Namun kesedihan ini terobati dengan keyakinan bahwa perjalanan ini adalah ibadah, dan perpisahan ini adalah bagian dari ujian dari ibadah, maka kami mohon kekuatan pada Allah untuk menjalaninya.
Di dalam kereta, saya nyaris tak bisa memejamkan mata. Saya ingin betul-betul menikmati perjalanan ini. Sambil melantunkan dzikir syukur kepada-Nya, tak terasa perjalanan telah sampai di stasiun Pekalongan, kota kecil tempat saya lahir dan dibesarkan. Kenangan akan ayahanda kembali berkelebat. Tangis pun tak lagi bisa terbendung. Ya Allah, ampunilah dosanya dan terimalah semua amal baiknya sebagai penghapus dosa, dan mudahkanlah jalannya menuju Surga-Mu. Amin..