Wednesday, April 16, 2008

Cerita Perjalanan 1

Sabtu, 14 Maret 2008
Pagi, Ibu, kakak dan keponakan, Bapak & Ibu mertua, sudah datang ke rumah. Mereka yang rencananya akan menyertai keberangkatan kami ke Bandung, tempat manasik berlangsung sebelum kami berangkat ke tanah suci. Persiapan-persiapan dan packing sudah selesai. Tak urung, masih ada saja hal-hal kecil yang terlewatkan. Alhamdulillah, sebelum ashar, semua sudah selesai, tinggal menunggu saat-saat keberangkatan. Rencananya, kami berangkat menuju Bandung menggunakan KA.Harina jam 21.00. Suami masih di kantor menyelesaikan beberapa kewajiban yang mesti dituntaskan.
Sampai menjelang maghrib, suami belum juga pulang. Saya mulai gelisah. Ini awal perjalanan jauh, dan beliau belum bersiap, meskipun untuk perbekalannya, semua sudah saya urus. Rupanya kepatuhan saya pada suami hendak diuji. Beruntung Ibu dan kakak berkali-kali mengingatkan saya untuk bersabar, menahan amarah dan tidak mengeluh. Belum lagi perdebatan kami, tentang bagaimana kami akan menuju stasiun, siapa yang akan membawa pulang mobil dan bagaimana keluarga akan pulang, mengingat tidak satupun keluarga yang mengantar bisa menyetir, sedangkan suami sampai di rumah dengan jeda waktu keberangkatan yang sudah cukup mendebarkan. Saya yang biasanya keras dengan pendapat saya, apalagi jika merasa bahwa pendapat saya lebih logis, kali ini mulai berusaha keras untuk mematuhi apapun keputusan suami, sekalipun bertentangan dengan pendapat pribadi. Bukan hal mudah, mengingat selama ini saya termasuk lebih sering berpihak pada pendapat pribadi. Namun mengingat perjalanan ini adalah perjalanan ibadah, dimana saya tidak ingin ada perilaku berbantah-bantahan, sayapun lebih banyak diam dan menurut, sambil terus berdoa dalam hati, agar semoga kepatuhan kepada suami sebagai bagian dari ibadah saya pada Allah SWT mendapatkan Ridho-Nya, dan Dia memberikan kemudahan dalam perjalanan kami.
Alhamdulillah, kami sampai di stasiun sekitar 30 menit sebelum kereta berangkat. Suami menitipkan mobil ke kantor yang berjarak sekitar 3 km dari stasiun, dan rencananya akan ke stasiun menggunakan becak. Sedangkan keluarga akan pulang ke rumah menggunakan taksi yang cukup banyak mangkal di depan stasiun. Sungguh, saya tak membayangkan akankah waktu 30 menit cukup untuk membawa suami sampai di stasiun sebelum kereta berangkat. Apalagi jalan dari stasiun ke kantor memutar, karena jalan yang searah. Saya sudah hampir menangis ketika sudah lebih dari 15 menit, suami belum juga tampak. Emosi saya pun sudah mulai naik. Ibu dan kakak berulangkali mengingatkan untuk bersabar, dan pasrah pada Allah. Kalaupun ketinggalan kereta, Insya Allah akan ada jalan untuk tetap sampai di Bandung keesokan harinya. Berulangkali pula Ibu dan kakak mengingatkan untuk tetap patuh pada suami selama perjalanan sampai ke tanah suci. Emosi saya mulai mereda, dan sesaat kemudian suami pun tampak di pintu masuk. Rupanya, Allah memudahkan perjalanannya, karena ketika hendak menuju stasiun , beliau bertemu dengan seorang teman yang dengan baik hati berkenan mengantar ke stasiun menggunakan sepeda motor, yang tentunya jauh lebih cepat dibandingkan rencana semula menggunakan becak. Alhamdulillah, Ya Allah, belum juga berangkat ke tanah suci, telah Kau tunjukkan kepadaku, betapa ketika kita patuh pada aturan-Nya, maka Dia akan memudahkan urusan kita. Inilah pelajaran berharga buat saya, yang terus saya pegang.
Sepuluh menit sebelum kereta berangkat, saya dan suami berpamitan. Ada keharuan yang sangat mendalam ketika saya berpamitan pada ibunda. Teringat pada Cita-cita ayahanda untuk ke tanah suci yang belum terlaksanakan sampai akhir hayatnya. Teringat bahwa beliaulah yang sangat bersemangat mendukung ketika proses seleksi berlangsung. Bahkan beliau yang berjanji akan menemani anak-anak ketika kami ke tanah suci, karena seharusnya, mulai 1 Maret lalu, beliau memasuki masa purna tugas.
Tepat pukul 21.00, kereta berangkat. Dari jendela, kami lambaikan tangan kepada keluarga yang mengantar. Ada kesedihan karena harus berpisah, bahkan terbayang, andai saja Bapak hadir di sana, melambaikan tangan kepada kami. Namun kesedihan ini terobati dengan keyakinan bahwa perjalanan ini adalah ibadah, dan perpisahan ini adalah bagian dari ujian dari ibadah, maka kami mohon kekuatan pada Allah untuk menjalaninya.
Di dalam kereta, saya nyaris tak bisa memejamkan mata. Saya ingin betul-betul menikmati perjalanan ini. Sambil melantunkan dzikir syukur kepada-Nya, tak terasa perjalanan telah sampai di stasiun Pekalongan, kota kecil tempat saya lahir dan dibesarkan. Kenangan akan ayahanda kembali berkelebat. Tangis pun tak lagi bisa terbendung. Ya Allah, ampunilah dosanya dan terimalah semua amal baiknya sebagai penghapus dosa, dan mudahkanlah jalannya menuju Surga-Mu. Amin..

No comments: