Monday, April 21, 2008

Setelah Kepergian Itu

Setelah Bapak pergi, permasalahan pertama yang mengemuka adalah, siapakah diantara kami berlima yang akan tinggal untuk mendampingi Ibu. Karena selama ini, setelah adik bungsu kami melanjutkan kuliah di kota Solo, praktis Ibu dan Bapak hanya tinggal berdua saja. Memang betul, di kota kelahiran kami, masih ada dua orang kakak yang tinggal di sana. Meskipun sekota, hanya kakak nomor tiga yang hampir setiap hari mampir, at least lebih dari sekali dalam sepekan. Karena kakak nomor tiga ini yang paling sering dimintai tolong Bapak dan Ibu untuk berbagai hal. Dari mulai belanja bulanan, antar jemput Ibu ke kantor kalau Bapak sedang berhalangan, atau pun membelikan sesuatu yang dibutuhkan Bapak dan Ibu. Kebetulan beliau memang sudah menasbihkan diri sebagai Ibu Rumah Tangga sejati sejak pertama kali mengikat janji suci dengan suaminya, dan beliau ini tipe perempuan cekatan, yang terampil menyelesaikan segala urusan domestik. Jadi tak masalah dalam sehari harus menyelesaikan urusan rumah tangga sendirian dengan 2 buah hati (tanpa asisten lho) sekaligus menyelesaikan urusan yang diamanahkan Ibu Bapak.
Sedangkan kakak kedua, karena kesibukan beliau bekerja sebagai guru, disampaing aktifitas sosial kemasyarakatannya, juga kegiatan mengurus 3 buah hati, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk mendampingi Bapak Ibu. Bapak Ibu juga sangat faham pada karakter putri keduanya ini yang lebih cekatan di luar rumah, dibandingkan di dalam rumah. Untuk urusan domestik, beliau memang tidak terlalu istimewa.
Masalahnya, kakak nomor dua ini bersuamikan seorang anak tunggal yang juga punya amanah untuk mendampingi Ibunya yang tinggal sendirian. Jadi dia harus memilih, apakah akan tinggal bersama Ibu Mertuanya, atau tinggal bersama Ibu.
Sedangkan jika kakak nomor tiga yang tinggal bersama Ibu, masalah ada di Ibu, yang merasa tidak cukup klop tinggal bersama anak-mantu-cucu yang ini.
Hingga akhirnya, karena kebesaran hati mertua beliau, kakak nomor dua ini pun boyongan ke rumah Ibu. Masalah selesai. Kami kira. Ternyata tidak. Belum juga 3 bulan Bapak pergi, mertua beliau mulai merasa kehilangan. Beliau yang tidak pernah tinggal sendirian, mulai merasa kesepian, dan mengharapkan anak semata wayang beserta istri dan anaknya, bersedia tinggal bersamanya lagi. Akhirnya, kakak pun seperti makan buah simalakama. Dan, rumah tangganya pun terasa tidak nyaman saya rasa. Ya, saya bisa memahami kondisi tersebut. Sehingga alternatif lain adalah, saya atau kakak nomor satu pindah kota ke rumah Ibu. Alternatif ini adalah yang termahal saya pikir. Kenapa ? Karena mengupayakan pindah kerja bagi PNS seperti Ipar sulung saya, atau pegawai BUMN seperti saya dan suami, tentunya tidak mudah. Selain itu kami juga harus memindahkan sekolah anak-anak, yang butuh biaya tidka sedikit. Lalu biaya boyongan, dan renovasi rumah Ibu supaya cukup ditempati keluarga saya atau kakak, yang jumlahnya kayak rombongan sirkus. Bahkan jika kakak saya yang bersedia pindah, berarti dia harus juga merelakan diri untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya sekarang, yang tentunya berarti kehilangan separuh roda nafkah keluarganya. Meskipun kami yakin bahwa rezeki datangnya dari Allah, kami toh tetap harus berhitung, berapa besar dana yang dibutuhkan, juga berhitung, dari mana dana tersebut bisa didapat.
Ya Allah....kami mohon kepada-Mu, tunjukkanlah kami jalan keluar untuk permasalahan ini. Amin.




No comments: